Beranda | Artikel
Balasan Orang Yang Merusak Hubungan Wanita Dengan Suaminya
Jumat, 1 Desember 2006

BALASAN ORANG YANG MERUSAK HUBUNGAN WANITA DENGAN SUAMINYA

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

Pertanyaan:
Apa balasan bagi orang yang merusak hubungan wanita dengan suaminya?

Jawaban:
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ حَلَفَ بِاْلأَمَانَةِ، وَمَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوْكَهُ، فَلَيْسَ مِنَّا.

‘Bukan termasuk golongan kami siapa yang bersumpah ‘demi amanah’, dan barangsiapa yang merusak hubungan seseorang dengan isterinya atau hamba sahaya yang dimilikinya, maka ia bukan golongan kami.’[1]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata tentang hukum merusak hubungan wanita dengan suaminya: “(Perbuatan) ini termasuk salah satu dosa besar. Sebab, jika syari’at melarang meminang pinangan saudaranya, maka bagaimana halnya dengan orang yang merusak isterinya, hamba sahaya wanitanya atau hamba sahaya laki-lakinya, serta berusaha memisahkan di antara keduanya sehingga dia bisa berhubungan dengannya. Perbuatan dosa ini tidak kurang dari perbuatan keji (zina), walaupun tidak melebihinya, dan hak yang lain tidak gugur dengan taubat dari kekejian. Karena taubat, meskipun telah menggugurkan hak Allah, namun hak hamba masih tetap (ada). Menzhalimi seseorang (suami) dengan merusak isterinya dan kejahatan terhadap ranjangnya, hal itu lebih besar dibanding merampas hartanya secara zhalim. Bahkan, tidak ada (hukuman) yang setara di sisinya kecuali (dengan) mengalirkan darahnya.”[2]

Syaikhul Islam rahimahullah ditanya tentang wanita yang berpisah dengan suaminya, lalu seseorang meminangnya dalam masa ‘iddahnya dan ia memberi nafkah kepadanya: “Apakah itu dibolehkan ataukah tidak?”

Beliau menjawab: “Segala puji hanya milik Allah. Jelas-jelas (seseorang) tidak boleh meminang wanita yang masih dalam ‘iddah dengan tegas, walaupun dalam ‘iddah karena (ditinggal) wafat, berdasarkan kesepakatan kaum muslimin; maka bagaimana halnya dalam ‘iddah perceraian? Barangsiapa yang melakukan demikian, ia berhak mendapatkan hukuman yang membuatnya dan orang-orang yang semisalnya menjadi jera dari perbuatan itu. Dan hukuman itu diberikan kepada orang yang meminang maupun yang dipinang, semua diberi hukuman, dan dilarang menikahkan dengannya sebagai hukuman baginya karena niatnya yang batal, wallaahu a’lam.”[3]

Beliau juga ditanya tentang laki-laki yang mentalak isterinya dengan talak tiga. Setelah menyelesaikan ‘iddahnya di sisinya, ia keluar. Setelah itu, ia menikah dan dicerai pada hari itu juga. Orang yang menalaknya tidak mengetahui kecuali pada hari kedua, apakah dia boleh bersepakat bersama wanita itu jika telah menyelesaikan ‘iddahnya, maka ia akan rujuk kepadanya?

Beliau menjawab: “Ia tidak boleh meminangnya di masa ‘iddah dari (suami) selainnya, dan tidak boleh pula memberi nafkah kepadanya untuk menikahinya. Jika talak itu talak raj’i, maka ia tidak boleh melamar dengan sindiran. Jika talaknya adalah talak ba’in, maka kebolehan meminang dengan sindiran diperselisihkan. Kondisi tersebut jika wanita ini menikah dengan nikah raghbah (atas dasar suka). Adapun jika dia menikah dengan nikah tahlil, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat muhallil dan muhallal lahu[4] .

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
______
Footnote
[1]. HR. Ahmad (no. 22471), al-Hakim (IV/298), ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi; Abu Dawud (no. 3253) kitab al-Aimaan wan Nudzuur, dan dishahihkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib (V/385).
[2] Dinukil dari al-Manawi dalam Faidhul Qadiir (V/385).
[3] Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/8).
[4] Majmuu’ Fataawa (XXXII/8).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1983-balasan-orang-yang-merusak-hubungan-wanita-dengan-suaminya-2.html